Thursday, June 03, 2010

Memanusiakan Anak & Memanusiakan Orangtua

I just read an interesting writing of Dewi "Dee" Lestari entitled Manusia, Bukan Cuma "Mama". Waktu gw baca, gw berpikir: Ini dia! Ini dia yang selama ini menjadi biang masalah antara ortu dengan anak yang sudah dewasa. Secara turun-temurun, didukung oleh budaya dan kebiasaan, label anak dan orangtua melekat setiap saat, setiap detik, 24/7. Tulisan Dee diawali dengan diskusinya bersama temannya, Reza, antara lain tentang:

pengondisian orangtua kita dulu yang akhirnya membentuk perilaku dan pola asuh mereka terhadap kita, hingga seringkali yang mereka terapkan bukanlah yang terbaik bagi anak melainkan sekadar meneruskan warisan dari orangtua mereka sebelumnya. Dan hal itu berlangsung dari generasi ke generasi, termasuk pada kita saat kebagian giliran jadi orangtua. Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut meninggalkan trauma.


Teringat lagi bahasan gw di hypno-parenting tentang tangki cinta yang bocor akibat sakit hati atau trauma. Trauma ini melekat terus meskipun seorang anak sudah menjadi manusia dewasa, seperti satu dari sekian banyak pemberi komentar pada tulisan Dee tsb:

Magdalena said...
ibu..
aku menyayanginya, sangat sayang sekali.
tapi bingung juga jika hampir semua yang kita pikirkan tidak sejalan. entah karena benturan jaman atau beda lingkungan.
akan menjadi sangat complicated saat membicarakan tentang seorang anak yang telah menjelma menjadi manusia dan seorang ibu yang memiliki si buyung yang telah dewasa itu. belum lagi benturan-benturan dengan norma agama. atas nama orang tua aku akan mengorbankan cinta karena aku tidak mau menjadi durhaka sedikitpun.
walau aku harus layu selamanya
...tentu ini menjadi tidak adil...
thats a complicated relation between mom and me as a human.
Magdalena said...
akan menjadi sangat complicated..
saat berbicara tentang kata-kata durhaka, apalagi jika nanti di kaitkan dengan cinta.
mama
aku akan selalu menuruti kata-kataamu
hingga aku tidak merasa menjadi manusia dewasa
mama aku tersiksa dengan keadaan ini.


Bagaimana cara yang tepat agar orangtua bisa melihat anaknya sebagai sesama manusia, bukan hanya sebagai anaknya berikut "embel-embel" ekspektasi yang menyertainya; dan sebaliknya?

Yang sering dilupakan oleh orangtua adalah bahwa anaknya juga manusia, bukan cuma anak. Di sekolah, anaknya adalah seorang murid, seorang teman, mungkin seorang ketua kelas, ketua organisasi dan sebagainya, yang juga punya tanggung jawab atas peran2nya tersebut, tidak hanya atas perannya sebagai anak. Sering orangtua menganggap anaknya tidak punya kehidupan lain di luar rumah (padahal anaknya sudah sekolah/kuliah/kerja). Yang sering terjadi adalah orangtua dengan mudahnya membuat "jadual" dadakan atau janji dengan orang lain yang melibatkan anaknya, tanpa menanyakannya terlebih dulu dengan si anak. Padahal mungkin anaknya sudah punya jadual/janji lain dengan temannya atau rekan2 di organisasinya. Sedikit curcol, sebenarnya itu cukup sering terjadi pada diri gw. Akhirnya gw jadi males bikin janji dengan teman2/rekan2 ekskul dsb. Akhirnya gw males bikin komitmen apa pun, karena ortu gw bisa dengan mudahnya memaksa gw mengikuti jadual yang sudah disiapkan untuk gw. Daripada di mata teman2 gw dilihat sebagai orang yg nggak bisa diandalkan, mendingan gw ngga usah ikutan apa2, ngga usah komit apa2. Jadi baru terpikir, mungkin juga itu penyebab gw termasuk cewek yg "takut" komitmen :D hehe...

Ada saat2 di mana kita memang harus berperan sebagai anak dan sebagai orangtua. Namun setiap orang pasti juga butuh dilihat sebagai sesama manusia yang sejajar - tanpa menghilangkan etika dan sopan santun antar-manusia - tanpa tuntutan dan ekspektasi.

Mungkin saatnya kita, orangtua dan anak, harus mencoba saling melihat satu sama lain sebagai manusia yang equal, sejajar. Manusia dengan personality, kekurangan, kelebihan, kegemaran, kesibukan, dan impiannya masing2.

1 comment:

Anonymous said...

ahh sedihnya contoh di atas.... :(