Monday, June 28, 2010

Parents Trap??

Jebakan dari orangtua? Mana mungkin? Memang bukan sengaja menjebak, tapi faktanya banyak sekali dari kita yang terjebak.  Mari kita melihat hal ini dengan pikiran jernih.  Hilangkan segala emosi negatif, dan mulailah membaca tulisan ini:
 
 
Mari belajar dari pengalaman--diri sendiri maupun orang lain--dan mulailah berupaya agar kita tidak menjebak anak2 kita :)
 

Thursday, June 03, 2010

Memanusiakan Anak & Memanusiakan Orangtua

I just read an interesting writing of Dewi "Dee" Lestari entitled Manusia, Bukan Cuma "Mama". Waktu gw baca, gw berpikir: Ini dia! Ini dia yang selama ini menjadi biang masalah antara ortu dengan anak yang sudah dewasa. Secara turun-temurun, didukung oleh budaya dan kebiasaan, label anak dan orangtua melekat setiap saat, setiap detik, 24/7. Tulisan Dee diawali dengan diskusinya bersama temannya, Reza, antara lain tentang:

pengondisian orangtua kita dulu yang akhirnya membentuk perilaku dan pola asuh mereka terhadap kita, hingga seringkali yang mereka terapkan bukanlah yang terbaik bagi anak melainkan sekadar meneruskan warisan dari orangtua mereka sebelumnya. Dan hal itu berlangsung dari generasi ke generasi, termasuk pada kita saat kebagian giliran jadi orangtua. Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut meninggalkan trauma.


Teringat lagi bahasan gw di hypno-parenting tentang tangki cinta yang bocor akibat sakit hati atau trauma. Trauma ini melekat terus meskipun seorang anak sudah menjadi manusia dewasa, seperti satu dari sekian banyak pemberi komentar pada tulisan Dee tsb:

Magdalena said...
ibu..
aku menyayanginya, sangat sayang sekali.
tapi bingung juga jika hampir semua yang kita pikirkan tidak sejalan. entah karena benturan jaman atau beda lingkungan.
akan menjadi sangat complicated saat membicarakan tentang seorang anak yang telah menjelma menjadi manusia dan seorang ibu yang memiliki si buyung yang telah dewasa itu. belum lagi benturan-benturan dengan norma agama. atas nama orang tua aku akan mengorbankan cinta karena aku tidak mau menjadi durhaka sedikitpun.
walau aku harus layu selamanya
...tentu ini menjadi tidak adil...
thats a complicated relation between mom and me as a human.
Magdalena said...
akan menjadi sangat complicated..
saat berbicara tentang kata-kata durhaka, apalagi jika nanti di kaitkan dengan cinta.
mama
aku akan selalu menuruti kata-kataamu
hingga aku tidak merasa menjadi manusia dewasa
mama aku tersiksa dengan keadaan ini.


Bagaimana cara yang tepat agar orangtua bisa melihat anaknya sebagai sesama manusia, bukan hanya sebagai anaknya berikut "embel-embel" ekspektasi yang menyertainya; dan sebaliknya?

Yang sering dilupakan oleh orangtua adalah bahwa anaknya juga manusia, bukan cuma anak. Di sekolah, anaknya adalah seorang murid, seorang teman, mungkin seorang ketua kelas, ketua organisasi dan sebagainya, yang juga punya tanggung jawab atas peran2nya tersebut, tidak hanya atas perannya sebagai anak. Sering orangtua menganggap anaknya tidak punya kehidupan lain di luar rumah (padahal anaknya sudah sekolah/kuliah/kerja). Yang sering terjadi adalah orangtua dengan mudahnya membuat "jadual" dadakan atau janji dengan orang lain yang melibatkan anaknya, tanpa menanyakannya terlebih dulu dengan si anak. Padahal mungkin anaknya sudah punya jadual/janji lain dengan temannya atau rekan2 di organisasinya. Sedikit curcol, sebenarnya itu cukup sering terjadi pada diri gw. Akhirnya gw jadi males bikin janji dengan teman2/rekan2 ekskul dsb. Akhirnya gw males bikin komitmen apa pun, karena ortu gw bisa dengan mudahnya memaksa gw mengikuti jadual yang sudah disiapkan untuk gw. Daripada di mata teman2 gw dilihat sebagai orang yg nggak bisa diandalkan, mendingan gw ngga usah ikutan apa2, ngga usah komit apa2. Jadi baru terpikir, mungkin juga itu penyebab gw termasuk cewek yg "takut" komitmen :D hehe...

Ada saat2 di mana kita memang harus berperan sebagai anak dan sebagai orangtua. Namun setiap orang pasti juga butuh dilihat sebagai sesama manusia yang sejajar - tanpa menghilangkan etika dan sopan santun antar-manusia - tanpa tuntutan dan ekspektasi.

Mungkin saatnya kita, orangtua dan anak, harus mencoba saling melihat satu sama lain sebagai manusia yang equal, sejajar. Manusia dengan personality, kekurangan, kelebihan, kegemaran, kesibukan, dan impiannya masing2.

Wednesday, June 02, 2010

Rich nations, poor nations, devout nations?

Interesting question posted on Oct 16, 2009 on a discussion responding the article "Miss Indonesia Shames Us All, Cry Aceh's Clerics"
 

One thing that bothers me, and I guess I'm asking for a rational answer as to why this is, is the question why the most devout nations in the world seem to always suffer the most..why are they the poorest, why do they have the highest deathrates from disease, why are they the most polluted on the planet, why do their ferries and planes full of the devout, go down so often, why are they plagued with corrupt politicians, why do they get hit time and time again by horrendous natural disasters and so on?

And yet the least devout nations in the world...Scandinavia and parts of Europe, Australia and NZ, are amongst the wealthiest, have the healthiest populations, highest standard of living, long life, great enviroments etc. And China, which is about 80% atheist is dominating the planet economicaly at the moment.

 
Kenapa coba?
 
In my humble opinion, just because a nation has the most "religious" people, that doesn't mean they are really devout.  Hanya karena jumlah orang beragamanya paling banyak, bukan berarti mereka benar2 orang yang meyakini dan menjalankan agamanya secara baik & benar. 
 
Dalam hal hubungan manusia dengan Tuhan, mungkin kelihatannya banyak sekali orang "soleh", yang rajin melakukan ritual ibadah.  Tapi bahkan agama pun nggak merekomendasikan kita untuk hanya melakukan ritual ibadah dan melupakan hidup kita di dunia.
 
Dalam hal moral yang berhubungan dengan cara berpakaian, cara berkomunikasi dengan orang tua dst mungkin memang nggak sama dengan nilai2 yang dianut orang2 "beragama" - yang kebetulan(?) juga hampir sama dengan budaya Timur (kenapa agamis vs. non-agamis adalah Timur vs. Barat?)
 
Ironisnya, negara2 yg dibilang paling nggak beragama itu, mentalitasnya lebih "agamis".  Let me explain what I mean.  Satu contoh, dalam hal integritas/profesionalisme/kejujuran yang sudah menjadi standard mereka.  Padahal itu adalah ajaran agama, salah satu akhlak mulia yang namanya "amanah" - dapat dipercaya.  Kenapa negeri kita dibilang "low trust society" - masyarakat yang punya rasa percaya rendah?  Karena banyak tukang tipu.  Kenapa bisa banyak tukang tipu, padahal bukankah semua orang di sini "beragama"?
 
Kalo ada yang bilang itu semua karena keadaan ekonomi yang sangat buruk, bisa jadi ada benarnya.  Katanya "kemiskinan itu dekat dengan kekufuran".  Bagaimana enggak, orang beriman yang keluarganya kelaparan bisa melakukan hal yang sangat bertentangan dengan agamanya demi mendapatkan makanan.
 
Tapi, kalo mereka ingkar pada agamanya karena masalah ekonomi, jadi kayak ayam dan telor deh, mana yang duluan?  Kan pertanyaannya, kenapa masyarakat yang katanya "beragama" kok malah miskin, sedangkan masyarakat yang tidak beragama malah makmur?
 
It's complex.

Setia atau bodoh?

From a friend's blog.

Penderitaan Istri yang Setia Itu Berujung Kematian…
Begitulah judul berita Kompas 30 April 2006 yang memaksa mataku untuk membaca baris demi baris huruf dibawahnya. Ini kisah tentang seorang guru SD yang meninggal setelah dianiaya suaminya secara terus menerus sejak pernikahan mereka di tahun 1995.Mari kukutip tulisan di koran itu:
"Mereka prihatin atas penderitaannya, tetapi juga menaruh simpati dan kagum pada karakternya yang tegar dan tabah menghadapi penderitaannya, dan setia pada ikatan perkawinan. Sejak dinikahi Johny sekitar tahun 1995, hidup bahagianya hanya sepenggal bulan pertama. Hidup Arta selanjutnya selalu diliputi kekerasan fisik dari suami. Biasanya, Arta dipukul dan disiksa, dimaki,difitnah, dan sering sekali ditelantarkan begitu saja jika jatuh sakit."Dan komentar adik kandung korban," Dia adalah wanita yang setia. Meski beberapa kali kami memberi saran agar bercerai saja dari suaminya, dia tetap bertahan. Padahal dengan gaji sebagai guru, dia bisa menafkahi diri sendiri."

Apakah setia itu? Tidakkah seharusnya setia pada pasangan dan perkawinan itu bersyarat? Minimal, adanya penghormatan terhadap kemanusiaan pasangan. Benarkah sikap bertahan dalam perkawinan semacam itu layak diapresiasi sebagai setia? Atau justru sebenarnya hanyalah kepasrahan (untuk tidak mengatakan kebodohan) sia-sia?

Sebagai orang yang percaya pada adanya pertanggungjawaban setelah umur berakhir, aku bertanya-tanya dalam hati, apakah sikap seperti itu akan dipujiNya kelak? Ataukah Dia justru akan bertanya, "Mengapa tidak kau selamatkan dirimu? Mengapa kau sia-siakan kemampuan dan potensi yang Kuberikan padamu?"
Sebagaimana malaikat mencela kaum muslimin yang tidak mau hijrah dan mati terzalimi di Mekkah, "Bukankah Bumi Allah itu luas?" (Qur'an Surah Annisa 97-99)

Do you feel pressure in your relationship?

I like this.

Quoting a friend's writing:

If we feel pressure in relationships it means that there is an absence of love and truth in that relationship.
When there is truth, love is automatically there.
Truth makes us the embodiment of love naturally and we become fearless and free from animosity.
Whenever fear is experienced, the power of truth is not there.

So if you feel pressure or fear in your relationship, ask yourself. Is your relationship true? Are you being yourself in the relationship? Is the love mutual?

Oh well...